Senin, 04 Juli 2011

0009. Wahyu SAPTA DARMA





Sri Gutomo
Nama Sri Gutomo diterima ketika melakukan sujud bersama di rumah Pak Arjo pada Tanggal 27 Desember 1955. Ini tepat tiga tahun setelah menerima wahyu sujud.
Hujan yang amat lebat bersamaan dengan peristiwa penerimaan nama tersebut.
Sri menunjuk pada kata Raja atau Ratu.
Gutomo menyebutkan Budi Luhur.
Jadi Sri Gutomo dapat disebutkan sebagai Raja/Ratu Budi Luhur.
Bersama dengan turunnya wahyu tersebut tatkala sedang memberi petuah dihadapan para warga, Pak Arjo yang sekarang bergelar Sri Gutomo, juga diharuskan memakai kain sujud putih yang panjangnya 3 meter, lebar 90 cm.
kain sujud ini sebagian membungkus kepala dibentuk sorban dengan ujungnya mencuat ke atas kanan, menandakan sinar cahaya Hyang Maha Suci yang menuju keatas kearah Hyang Maha Kuwasa.
Bagian lain dari kain putih ini digelar didepan. Ini mengibaratkan bahwa Sri Gutomo menerima petunjuk dari Hyang Maha Kuwasa, dan petunjuk tersebut digelar (disampaikan) pada para warga seluruhnya.
Dalam melakukan sujud pun, Sri Gutomo tidak menghadap ke Timur seperti warga Sapta Darma pada umumnya, tetapi menghadap ke arah Barat, berhadap-hadapan dengan para warga.
Disebutkan pula bahwa warga yang melakukan sujud dengan teratur, tentu akan melihat Sinar Sri Gutomo dalam sujudnya.
Ini yang hamba ketahui.
Saya mengharap ada petunjuk dan wawasan dari para warga ataupun tuntunan.

free counters

Minggu, 03 Juli 2011

0008. Wahyu SAPTA DARMA



Sanggar dan tuntunan

http://sapta-darma.info/sejarah.html
-----------------------------------------------------------------------
Pada bulan Oktober 1954, dalam suatu persujudan pada malam harinya diterima lagi suatu penerimaan yang memerintahkan agar Sdr. SARPAN ditunjuk sebagai TUNTUNAN SANGGAR di PARE, KEDIRI. Ini suatu penerimaan baru lagi yaitu istilah SANGGAR. Yang dimaksud istilah Sanggar adalah tempat peribadatan (Pasujudan bersama) dan istilah TUNTUNAN adalah orang yang menuntuni sujud.

Pada tanggal 27 Desember 1955, selagi para warga mengadakan pasujudan bersama di Pare, diterimalah nama SRIGUTAMA. Bersamaan dengan diterimanya nama tersebut jatuhlah hujan lebat semalam suntuk, seterusnya dari tanggal 19 Agustus 1956 Bp. HARDJOSAPURO disebut menjadi PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA (Pelopor Budi Luhur).
--------------------------------------------------------------------

Sanggar
Berdasar tulisan diatas, istilah SANGGAR dan TUNTUNAN diterima ketika sedang melakukan sujud bersama di malam hari, di bulan Oktober 1954
Sanggar adalah tempat untuk melakukan sujud bersama.
Tentu saja sanggar yang pertama adalah rumah Pak Arjo Sopuro, dan Pak Sarpan adalah orang pertama yang menjadi tuntunan.
Selanjutnya sanggar itu terdiri dari dua: Sanggar Candi Busono dan Sanggar Candi Sapto Renggo.
Nama sanggar Candi Busono diberikan pada setiap sanggar tempat berkumpulnya warga untuk melakukan pasujudan bersama sama. Pada setiap sanggar terdapat seseorang yang ditunjuk sebagai tuntunan sanggar disitu.
Khusus untuk rumah Pak Arjo, ini disebut Sanggar Agung Candi Busono. Di tempat inilah tempat kedatangan wahyu pertama kali.
Sanggar Candi Sapto Renggo hanya ada satu. Disinilah pusat kegiatan Kerohanian Sapta Darma.
Alamat:
Sanggar Agung Candi Sapto Renggo
Jln. Surokarsan MgII/472 Mergangsan Jogyakarta D I Y Indonesia
Phone : (62)0274-375337
Bersama dengan itu, Warga Sapta Darma diharuskan sujud dengan alas kain putih berbentuk belah ketupat (bujur sangkar) ukuran 90 X 90 cm. Ini disebut kain sujud.
selanjutnya kain sujud ini juga dinamakan sanggar.
dengan demikian, para warga yang melakukan sujud beralaskan kain putih ini disebut sujud di sanggar, walaupun tidak melakukan sujud di sanggar Candi Busono.

Tuntunan
Tuntunan ditugaskan memberi tuntunan sujud pada setiap orang yang ingin malakukan sujud. Tuntunan bukan mewakili Pak Arjo, tetapi hanya melaksanakan tugas yang diberikan oleh Hyang Maha Kuwasa. Maka tanggung jawab juga kepada Hyang Maha Kuwasa. Siapa saja yang melakukan kesalahan, tentu akan mendapat hukuman dari Hyang Maha Kuwasa. Oleh sebab itu, tugas ini menjadi beban yang amat berat.
Walaupun demikian, semua yang menjalankan tugas sebagai tuntunan, tak ada yang menolak, malah banyak yang menginginkan tugas sebagai tuntunan.
Pak Saridi,saat ini yang menjadi Tuntunan Sanggar Agung Candi Busono Pare.
Dia termasuk pengikut Pak Arjo yang masih menjalani tugasnya sampai saat ini.

free counters

0007. Wahyu SAPTA DARMA




Brahmono_Resi dan Resi_Brahmono
Ketika akan mulai sujud, tangan kanan diletakkan didepan tangan kiri, dengan bersidakep menyilang. Telapak tangan kiri ditempelkan di dada kanan agak keatas, begitu pula telapak tangan kanan ditempelkan di dada sebelah kiri agak keatas.
Selanjutnya melakukan sujud dengan ucapan seperti biasanya.
Selesai sujud tiga bungkukan, kemudian duduk tegak kembali. Setelah itu telapak tangan ditangkupkan , diarahkan diatas ubun2 bersikap sembah. Selanjutnya diturunkan didepan hidung, masih dalam posisi menyembah, Kemudian ditaruh di pangkuan. Selesai.
Cara sujud ini oleh Pak Arjo dinamakan sujud Brahmono Resi, dan yang melakukan sujud ini disebut Resi Brahmono. Seluruh saksi pertama melakukan cara sujud demikian sampai akhir hayatnya. Tak ada yang merubah cara sujud ini, walaupun dibelakang hari cara sujud disempurnakan dengan cara sujud Dasa Warsa. Pak Arjo juga tidak melarang atau memerintahkan mengubah cara sujud menurut cara terbaru (Sujud Dasa Warsa) sebab sudah mengetahui bahwa cara sujud tersebut (Sujud Brahmono Resi) itu memang untuk para saksi2 pertama.


free counters

Kamis, 03 Juni 2010

0006. Wahyu SAPTA DARMA.


Peruwatan
Ketika manusia melepas nyawa atau mati, diiringi kepergian sukma, peristiwa ini di Sapta Darma dinamakan perginya Hyang Maha Suci ke alam langgeng diikuti saudara 11. Ketika melakukan racut, saudara 11 semuanya menjaga tubuhnya, tidak ikut Hyang Maha Suci. Karena itu, racut juga dinamakan "mati dalam hidup" atau kematian dalam keadaan hidup.
Ketika racut, selesai menghadap keharibaan Hyang Maha Kuwasa, kemudian pulang kembali kebadan wadagnya yang ditunggu saudara 11 itu. Sedangkan tatkala mati, saudara 11 tentu menghalang-halangi atau membebani Hyang Maha Suci.
Warga Sapta Darma yang tekun melakukan sujud, tentu dapat mengembalikan saudara 11 itu kembali keasalnya, yaitu sari-sari bumi, sehingga Hyang Maha Suci lancar perjalanannya, kembali ke alam langgeng.
Jika ada satu, dua, tiga atau banyak dari saudara 11 yang tidak bisa kembali keasalnya, ini tentu akan menjadi beban yang menghambat perjalanan Hyang Maha Suci, dan timbulnya roh penasaran atau roh gentayangan. Jika terjadi hal yang demikian, Hyang Maha suci akan terbawa ke alam halus, tempat mahluk halus, jin, dan sebangsanya, menempel di batu atau pepohonan besar, guwa angker dan gedung-gedung sepi. Saudara 11 yang menjerumuskan Hyang Maha Suci kesana, tetap masih hidup karena memperoleh sinar Hyang Maha Suci. Hal inilah yang akan menampilkan wujud gendruwo, kemamang, wedon, wewe dan sebagainya. Semua hal ini menimbulkan kegelapan yang mempengaruhi kehidupan manusia disekitarnya.
Banyaknya suasana kegelapan yang makin bertambah banyak selama ribuan tahun, menimbulkan kesengsaraan kehidupan manusia didunia ini, sebab dapat menimbulkan bermacam penyakit dan suasana kehidupan yang kurang nyaman. Selain itu, kegelapan suasana ini membuka kesempatan tindak kriminal dimana-mana.
Tugas dan kewajiban
Setelah menerima pekerjaan atau tugas menyembuhkan penderita sakit, Pak Arjo mendapat tugas baru melakukan peruwatan (membersihkan) tempat angker, dan yang terkait dengan hal itu. Tempat-tempat demikian adalah sumber atau asal-muasal seluruh kesengsaraan kehidupan manusia.
Peruwatan ini dilakukan dengan sarana sujud atau ening, memohon pengampunan kesalahan Hyang Maha Suci yang terseret saudara 11 ketempat tersebut. Bila dikabulkan oleh Hyang Maha Kuwasa, umumnya terasa ada tiupan angin sepoi-sepoi membawa roh penasaran (saudara 11) kembali keasal mulanya, yang berwujud sari-sari bumi.
Ditengah kota Pare terdapat tempat yang dikeramatkan, pohon beringin yang disebut Waringin Budha. Dibawahnya terdapat arca Budha kecil, tinggi sekitar setengah meter.
Ditempat ini banyak orang membakar kemenuyan, atau menabur bunga, dengan tujuan agar memperoleh berkah dari penunggunya. Tentu saja hal demikian menjadi tempat yang disenangi roh-roh penasaran. Tatkala diruwat, seketika dirasakan suasana yang terang, nyaman, bersih dari suasana kegelapan. Namun, selanjutnya, karena banyaknya orang yang mengkeramatkan dengan cara membakar kemenyan dan tabur bunga, roh penasaran dari tempat lain, banyak yang berdatangan dan menetap disitu. Tak lama kemudisn, suasana sekitar terasa menjadi gelap lagi.
Larangan bagi Warga Sapta Darma untuk mengeramatkan tempat tertentu.
Dalam hal ini, Pak Arjo berpesan, sangat melarang Warga Sapta Darma mengeramatkan sembarang tempat, memasang tumbal, memuja berbagai benda yang dianggap bertuah sejenis senjata: keris tumbak dan sebagainya.
Dikota Pare banyak tempat yang telah diruwat misalnya Waringin Budha, Candi Surowono, Kraton Mamenang (yang disebut sebagai tempat muksa Prabu JayaBaya) dan lainnya.
Melepaskan burung piaraan
Pak Arjo senang memelihara burung perkutut. Ada empat atau lima kurungan yang tergantung dirumahnya. Setelah menjalani sujud, Pak Arjo dapat merasakan, bagaimana rasanya bila dimasukkan dalam kurungan, walaupun tidak kekurangan makan dan minum. Karena itu semua burung ini dilepaskan kealam bebas.
Dalam kesempatan lain, Pak Arjo menyebutkan, agar warga Sapta Darma, meniru tindakan ini, melepas kegemaran mengurung burung atau hewan lain. Ada yang bersedia tetapi banyak pula yang tak mau mengikuti, dengan berbagai alasan.
Kembali pada Pak Arjo, semua berpulang pada pribadi masing-masing. Tetapi terhadap keluarganya sendiri, putra-putri, isteri bahkan pada ibunya sendiri, hal ini (tidak mengurung burung dan hewan lainnya), sudah menjadi perintah yang tegas, tak bisa dibantah.

free counters

0005. Wahyu SAPTA DARMA.


Sabda Waras
Dalam menjalankan tugas dari Hyang Maha Kuwasa melakukan penyembuhan terhadap orang-orang yang sakit, Pak Arjo tidak mendatangi satu-persatu, tetapi mereka yang sakit itu datang ketempat yang telah ditetapkan. Pak Arjo hanya menuju ketempat tersebut. Mereka yang sakit kemudian berbaris ditempat tersebut. Selanjutnya Pak Arjo ening, mohon petunjuk dari Hyang Maha Kuwasa kemudian mengucapkan sabda "WARAS".
Penderita sakit, setelah menerima sabda tersebut kemudian pulang. Banyak yang merasakan kesembuhan sebelum tiba dirumah. Ada pula yang merasakan badannya sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah tiga hari.
Sabda "Waras" adalah sarana penyembuhan tersebut. Tanpa menggunakan ramuan obat, minuman, bunga atau sarana lain.
Mereka yang ingin memberi upah, berupa uang atau barang lainnya, semuanya ditolak. Tidak mau menerima, sebab semua yang dilakukan semata-mata tugas dari Hyang Maha Kuwasa, yang tak mungkin ditolak.
Diantara orang-orang yang sakit ataupun keluarganya, ada yang ingin memiliki ilmu seperti "ilmu Pak Arjo". Mereka kemudian disujudkan (dituntuni menjalankan sujud). Sehingga makin banyak yang melakukan sujud. Banyak yang melakukan sujud memberi kecerahan pada suasana gelap yang menyelimuti dunia. Hal ini yang dikehendaki oleh Hyang Maha Kuwasa.
Doa dan puji yang tak diucapkan
Ditempat manapun, semua puja-puji yang ditujukan pada Hyang Maha Kuwasa tentu memberi pengaruh demikian, yaitu menyingkap dan memberi cahaya pada dunia yang gelap.
Begitu pula Sapta Darma. Walaupun doa dan puji tanpa diucapkan lewat mulut, hanya diucapkan dalam hati, tetapi pengaruhnya dapat menyingkap kegelapan dunia.
Kalimat yang diucapkan ketika menjalankan sujud ini, semua meniru ucapan tatkala Pak Arjo menerima wahyu sujud 27 Desember 1952. Tidak diucapkan lewat mulut, tetapi diucapkan dalam hati, sebab demikian itu perintah dari Hyang Maha Kuwasa.
Sabda titipan dari Hyang Maha Kuwasa.
Hanya sabda "WARAS" ini saja yang harus diucapkan. Sabda "Waras" ini tanpa diikuti atau ditambah kata lain. Sabda "Waras" ini disebut sebagai sabda titipan dari Hyang Maha Kuwasa. Sabda ini dinyatakan "tajamnya melebihi tujuh kali dari pisau cukur" yang berarti tidak sembarangan.(Tidak seperti kata-kata biasa). Warga Sapta Darma diarahkan agar dapat memiliki dalam arti meminjam sabda ini, hanya untuk menyembuhkan orang yang menderita sakit. (Meminjam bukan berarti memiliki)
Mengacu pada sabda ini, Warga Sapta Darma dilarang mengucapkan kata-kata yang kurang baik, sebab semua akan berpulang pada diri sendiri. Berkata buruk pada seseorang, itu akan menghunjam pada pribadinya sendiri. Selanjutnya, bila ada yang mengucap kata-kata kurang baik pada warga, tidak diperkenankan membalas dengan kata-kata yang buruk. Biarkan saja jika ada yang berani melakukan tindakan tersebut (mengucapkan kata buruk ditujukan pada warga).
free counters

Minggu, 07 Maret 2010

0004. Wahyu SAPTA DARMA.


Perawakan badan Pak Arjo sopuro
Ada orang yang menceriterakan bahwa ketika menerima Wahyu Sapto Darmo ini, umurnya 36 tahun, berarti lahir tahun 1916 (1952-36). Namun ada pula yang bersikukuh bahwa lelaki kelahiran Semanding (arah Barat Laut Pare) ini dilahirkan tahun 1912, menerima wahyu ketika berumur 40 tahun.
Tinggi sekitar 180 cm, terlihat jangkung apalagi badannya kurus. Warna kulit sedang, tidak kuning ataupun gelap. Potongan rambut selalu cepak seperti tentara. Tidak pernah mau memelihara jenggot ataupun kumis. Juga tidak brewok. Jadi penampilan selalu tampak bersih. Bicaranya disertai ungkapan yang bersifat perlambang.

Bila sedang tidak enak hati karena ada warga yang bertindak kurang benar, malah menertawakan diri sendiri, diumpamakan seakan dirinya sendiri yang melakukan kesalahan itu. Warga yang dituju tidak merasa, malah ikut tertawa. Sebaliknya jika bertindak benar, malah dibantah. Pak Kemi sering berbantahan dengan Pak Arjo. Contohnya tatkala Pak Kemi menceritakan bahwa ditempat yang kosong itu ada yang menempati, Pak Arjo membantah :"Tidak ada". Pak Kemi mempertahankan pendapatnya :"Ada". Pak Arjo malah berteriak dengan keras :"Tidak ada". Demikian berulang-ulang layaknya orang berbantahan. Pada akhirnya Pak Arjo ketawa lepas :"Ha ha ha ha"
Kepada tuntunan, Pak Arjo menyebutkan bahwa ada tuntunan bebek. Hadirin tertawa. Penggembala bebek itu menggembalakan bebeknya di pesawahan yang habis dipanen dan juga di kali kecil yang banyak keongnya. Ketika bebek-bebek itu sedang asyik mencari makan, si penggembala duduk-duduk saja didangau sambil tiduran, melihat dari kejauhan. Baru bangkit jika ada bebek yang bertelur.
Inilah perlambang tuntunan bebek, baru mau bergerak menjalankan tugas jika ada warganya yang melapor terima wejangan atau gegambaran saat melakukan sujud. Ini hal yang kurang benar untuk seorang tuntunan.
Melihat banyaknya warga yang masih kurang benar dalam melakukan sujud, Pak Arjo sangat bersedih.


free counters

Rabu, 24 Februari 2010

0003. Wahyu SAPTA DARMA.


Para saksi awal.
Selama Pak Arjo menjalankan tugas yang diperintahkan dari Hyang Maha Kuwasa, senantiasa diikuti saksi-saksi.
Paling sedikit dua orang yang menjadi saksi tentang apapun yang dilakukan oleh Pak Arjo Sopuro tatkala menjalankan tugas ini. Pada awaknya, mitra yang menjadi saksi turunnya wahyu : Pak Joyo Djaimun, Pak Kemi, Pak Danu Miharjo, Pak Soma Giman, Pak Reso Kasirin, Pak Darmo, Pak Jumadi, Pak Joyo Sadji, Pak Diman dan lainnya.
Pak Joyo Djaimun berkepribadian tenang, tidak banyak bicara, tinggi sekitar 160 cm, berperawakan sedang, tidak gemuk dan tidak kurus. Pak Kemi juga demikian, hanya jika berbicara, apa yang dikatakan selalu tepat dan benar, banyak pengalaman dalam mengembara mencari guru rohani. Pak Danu Miharjo berperawakan lebih kecil,tinggi sekitar 155 cm, berkulit agak gelap, banyak berbicara, suka humor . Bekerja sebagai guru Sekolah Dasar.
Pak Soma Giman tinggi besar, sekitar 170 cm tingginya, ramah tamah, dan sikapnya tidak berubah walaupun telah menjadi orang kaya, memiliki banyak truk. Pak Reso Kasirin agak gemuk, tinggi sama dengan Pak Joyo Djaimun. Sedangkan Pak Darmo tinggi besar sebanding dengan Pak Soma Giman. Adik perempuan Pak Soma Giman diperisteri Pak Darmo. Pak Jumadi adalah yang paling gemuk. Karena gemuknya, sampai jarang berbaring. Sehari-hari istirahatnya hanya duduk-duduk saja, tidurpun sambil duduk dikursi. Walaupun demikian, Pak Jumadi adalah orang sederhana, tak pernah berbicara yang tak perlu. Tak mau ikut-ikutan rame-rame seperti kebanyakan orang. Beberapa mitra Pak Arjo Sopuro yang lestari melakukan sujud sampai akhir hayat misalnya Pak Jumadi, Pak Kemi, Pak Diman. Pak Diman berperawakan kecil, tinggi sekitar 155 cm. Pandai bicara, menulis dan menggambar. Bicaranya halus seperti orang berpendidikan. Diantara para mitra, dialah yang memiliki wawasan paling luas.

free counters