Kamis, 03 Juni 2010

0006. Wahyu SAPTA DARMA.


Peruwatan
Ketika manusia melepas nyawa atau mati, diiringi kepergian sukma, peristiwa ini di Sapta Darma dinamakan perginya Hyang Maha Suci ke alam langgeng diikuti saudara 11. Ketika melakukan racut, saudara 11 semuanya menjaga tubuhnya, tidak ikut Hyang Maha Suci. Karena itu, racut juga dinamakan "mati dalam hidup" atau kematian dalam keadaan hidup.
Ketika racut, selesai menghadap keharibaan Hyang Maha Kuwasa, kemudian pulang kembali kebadan wadagnya yang ditunggu saudara 11 itu. Sedangkan tatkala mati, saudara 11 tentu menghalang-halangi atau membebani Hyang Maha Suci.
Warga Sapta Darma yang tekun melakukan sujud, tentu dapat mengembalikan saudara 11 itu kembali keasalnya, yaitu sari-sari bumi, sehingga Hyang Maha Suci lancar perjalanannya, kembali ke alam langgeng.
Jika ada satu, dua, tiga atau banyak dari saudara 11 yang tidak bisa kembali keasalnya, ini tentu akan menjadi beban yang menghambat perjalanan Hyang Maha Suci, dan timbulnya roh penasaran atau roh gentayangan. Jika terjadi hal yang demikian, Hyang Maha suci akan terbawa ke alam halus, tempat mahluk halus, jin, dan sebangsanya, menempel di batu atau pepohonan besar, guwa angker dan gedung-gedung sepi. Saudara 11 yang menjerumuskan Hyang Maha Suci kesana, tetap masih hidup karena memperoleh sinar Hyang Maha Suci. Hal inilah yang akan menampilkan wujud gendruwo, kemamang, wedon, wewe dan sebagainya. Semua hal ini menimbulkan kegelapan yang mempengaruhi kehidupan manusia disekitarnya.
Banyaknya suasana kegelapan yang makin bertambah banyak selama ribuan tahun, menimbulkan kesengsaraan kehidupan manusia didunia ini, sebab dapat menimbulkan bermacam penyakit dan suasana kehidupan yang kurang nyaman. Selain itu, kegelapan suasana ini membuka kesempatan tindak kriminal dimana-mana.
Tugas dan kewajiban
Setelah menerima pekerjaan atau tugas menyembuhkan penderita sakit, Pak Arjo mendapat tugas baru melakukan peruwatan (membersihkan) tempat angker, dan yang terkait dengan hal itu. Tempat-tempat demikian adalah sumber atau asal-muasal seluruh kesengsaraan kehidupan manusia.
Peruwatan ini dilakukan dengan sarana sujud atau ening, memohon pengampunan kesalahan Hyang Maha Suci yang terseret saudara 11 ketempat tersebut. Bila dikabulkan oleh Hyang Maha Kuwasa, umumnya terasa ada tiupan angin sepoi-sepoi membawa roh penasaran (saudara 11) kembali keasal mulanya, yang berwujud sari-sari bumi.
Ditengah kota Pare terdapat tempat yang dikeramatkan, pohon beringin yang disebut Waringin Budha. Dibawahnya terdapat arca Budha kecil, tinggi sekitar setengah meter.
Ditempat ini banyak orang membakar kemenuyan, atau menabur bunga, dengan tujuan agar memperoleh berkah dari penunggunya. Tentu saja hal demikian menjadi tempat yang disenangi roh-roh penasaran. Tatkala diruwat, seketika dirasakan suasana yang terang, nyaman, bersih dari suasana kegelapan. Namun, selanjutnya, karena banyaknya orang yang mengkeramatkan dengan cara membakar kemenyan dan tabur bunga, roh penasaran dari tempat lain, banyak yang berdatangan dan menetap disitu. Tak lama kemudisn, suasana sekitar terasa menjadi gelap lagi.
Larangan bagi Warga Sapta Darma untuk mengeramatkan tempat tertentu.
Dalam hal ini, Pak Arjo berpesan, sangat melarang Warga Sapta Darma mengeramatkan sembarang tempat, memasang tumbal, memuja berbagai benda yang dianggap bertuah sejenis senjata: keris tumbak dan sebagainya.
Dikota Pare banyak tempat yang telah diruwat misalnya Waringin Budha, Candi Surowono, Kraton Mamenang (yang disebut sebagai tempat muksa Prabu JayaBaya) dan lainnya.
Melepaskan burung piaraan
Pak Arjo senang memelihara burung perkutut. Ada empat atau lima kurungan yang tergantung dirumahnya. Setelah menjalani sujud, Pak Arjo dapat merasakan, bagaimana rasanya bila dimasukkan dalam kurungan, walaupun tidak kekurangan makan dan minum. Karena itu semua burung ini dilepaskan kealam bebas.
Dalam kesempatan lain, Pak Arjo menyebutkan, agar warga Sapta Darma, meniru tindakan ini, melepas kegemaran mengurung burung atau hewan lain. Ada yang bersedia tetapi banyak pula yang tak mau mengikuti, dengan berbagai alasan.
Kembali pada Pak Arjo, semua berpulang pada pribadi masing-masing. Tetapi terhadap keluarganya sendiri, putra-putri, isteri bahkan pada ibunya sendiri, hal ini (tidak mengurung burung dan hewan lainnya), sudah menjadi perintah yang tegas, tak bisa dibantah.

free counters

0005. Wahyu SAPTA DARMA.


Sabda Waras
Dalam menjalankan tugas dari Hyang Maha Kuwasa melakukan penyembuhan terhadap orang-orang yang sakit, Pak Arjo tidak mendatangi satu-persatu, tetapi mereka yang sakit itu datang ketempat yang telah ditetapkan. Pak Arjo hanya menuju ketempat tersebut. Mereka yang sakit kemudian berbaris ditempat tersebut. Selanjutnya Pak Arjo ening, mohon petunjuk dari Hyang Maha Kuwasa kemudian mengucapkan sabda "WARAS".
Penderita sakit, setelah menerima sabda tersebut kemudian pulang. Banyak yang merasakan kesembuhan sebelum tiba dirumah. Ada pula yang merasakan badannya sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah tiga hari.
Sabda "Waras" adalah sarana penyembuhan tersebut. Tanpa menggunakan ramuan obat, minuman, bunga atau sarana lain.
Mereka yang ingin memberi upah, berupa uang atau barang lainnya, semuanya ditolak. Tidak mau menerima, sebab semua yang dilakukan semata-mata tugas dari Hyang Maha Kuwasa, yang tak mungkin ditolak.
Diantara orang-orang yang sakit ataupun keluarganya, ada yang ingin memiliki ilmu seperti "ilmu Pak Arjo". Mereka kemudian disujudkan (dituntuni menjalankan sujud). Sehingga makin banyak yang melakukan sujud. Banyak yang melakukan sujud memberi kecerahan pada suasana gelap yang menyelimuti dunia. Hal ini yang dikehendaki oleh Hyang Maha Kuwasa.
Doa dan puji yang tak diucapkan
Ditempat manapun, semua puja-puji yang ditujukan pada Hyang Maha Kuwasa tentu memberi pengaruh demikian, yaitu menyingkap dan memberi cahaya pada dunia yang gelap.
Begitu pula Sapta Darma. Walaupun doa dan puji tanpa diucapkan lewat mulut, hanya diucapkan dalam hati, tetapi pengaruhnya dapat menyingkap kegelapan dunia.
Kalimat yang diucapkan ketika menjalankan sujud ini, semua meniru ucapan tatkala Pak Arjo menerima wahyu sujud 27 Desember 1952. Tidak diucapkan lewat mulut, tetapi diucapkan dalam hati, sebab demikian itu perintah dari Hyang Maha Kuwasa.
Sabda titipan dari Hyang Maha Kuwasa.
Hanya sabda "WARAS" ini saja yang harus diucapkan. Sabda "Waras" ini tanpa diikuti atau ditambah kata lain. Sabda "Waras" ini disebut sebagai sabda titipan dari Hyang Maha Kuwasa. Sabda ini dinyatakan "tajamnya melebihi tujuh kali dari pisau cukur" yang berarti tidak sembarangan.(Tidak seperti kata-kata biasa). Warga Sapta Darma diarahkan agar dapat memiliki dalam arti meminjam sabda ini, hanya untuk menyembuhkan orang yang menderita sakit. (Meminjam bukan berarti memiliki)
Mengacu pada sabda ini, Warga Sapta Darma dilarang mengucapkan kata-kata yang kurang baik, sebab semua akan berpulang pada diri sendiri. Berkata buruk pada seseorang, itu akan menghunjam pada pribadinya sendiri. Selanjutnya, bila ada yang mengucap kata-kata kurang baik pada warga, tidak diperkenankan membalas dengan kata-kata yang buruk. Biarkan saja jika ada yang berani melakukan tindakan tersebut (mengucapkan kata buruk ditujukan pada warga).
free counters